Sekitar jam 9 pagi kemarin saat si abang sedang bermain, dia berkata, "Yaahhh, rusak... (sambil menunjukkan mainan kalung bulat2 yang berantakan di tempat tidur terlepas dari kalungnya)". Segera saja aku bereskan dan pinggirkan sambil mengingatkan, "Aduuhh bang, ayo dibereskan yaa, kuatir nanti adek nemuin dan dimakan lagi".
Aku ngobrol sebentar dengan misua, tiba2 abang berteriak kecil tertahan sambil menunjuk hidungnya. Waaahh, aku langsung berfirasat jelek, dan ternyata benar... "Masukkk kalungnya, masuk bunda..". Lemeeeesss rasanya. "Lohh, masih ada yaa bang, kok dimasukin ke hidung?". Semua upaya mengeluarkan manik2 itu gak berhasil malah semakin terdorong ke dalam. Abang juga lagi pilek, makin sulit usahanya. Hiksss sedihnya.
Akhirnya, sore itu dijadwalkan ke dokter THT RS umum terdekat. Aku masih cukup terhibur melihat abang tetap ceria dan beraktivitas seperti biasa, hanya saja kuatir kalau mengingat ada manik2 di dalam hidungnya yang nyangkut. Saat masuk ruang dokter, abang dengan berani duduk di pangkuan suamiku, dokter langsung mencoba mengambilnya dengan peralatan semacam pinset panjang, namun gak disangka abang langsung berontak dan berteriak sakiiitt katanya. Dan akhirnya mengucurlah darah segar, "waah, udah berdarah nih, gak bisa lagi kita coba" kata sang dokter. "Ada dua pilihan bu, mau kita coba lagi besok atau terpaksa operasi" lanjutnya. Aku terdiam. "Kalau operasi, yaa minimal 3,5jt ya suster?" tanyanya pada suster yang diiyakan sang suster. "Kalau ibu pake asuransi sih gak masalah yaa". Percakapan (lebih tepatnya pernyataan) itu terasa begitu cepat, sampai2 aku hanya termangu. "Oke ya bu, jadi terserah ibu bagaimana, atau mau coba di mana". Ada rasa gak puas dan nyesak, sesuatu yang menggumpal karena tidak sempat mengeluarkan pertanyaan maupun pernyataan. Akhirnya, kamipun pulang.
Sungguh, bukan biaya yang menjadi beban, tapi rasanya lelaaaahhh banget hati dan pikiran ini. Aku trauma rasanya. Aku baru sadar banyak sekali yang belum aku tanyakan, seperti apakah tidak masalah si abang tidur malam ini, apakah posisi tidurnya harus telungkup untuk mencegah manik2nya masuk ke dalam, dll. Malamnya aku gak bisa tidur, ngejagain si abang, berikut bermacam prasangka jelek, belum lagi membayangkan proses trial-error besok, proses operasi jika terpaksa, dampaknya, dan lain2. Stresss banget, sepertinya gak ada jalan lain lagi untuk menghindari operasi kalau mengingat kata2 sang dokter.
Dan pagi ini aku dah pasrah aja, sampai bertemu adikku dan dia memberikan alternatif untuk mencoba di RSS Medika Salemba khusus THT, kebetulan dokternya itu kakeknya teman anak adikku. Jujur, saat itu aku males banget mengingat trauma kemarin waktu berkonsultasi. Tapi tiba2 aku teringat lagi kata2 sang dokter, "Oke ya bu, jadi terserah ibu bagaimana, atau mau coba di mana". Mau coba di mana, heeiii siapa tau maksudnya adalah RS khusus THT. Akhirnya aku dan suamipun pergi ke RSS Medika Salemba setelah menjemput si abang dari sekolah (yaaaa, abang tetap mau sekolah karena kebetulan hari ini acaranya melukis di kaos, jadi dia gak mau ketinggalan).
Saat mau masuk RSS Medika Salemba, aku tiba2 mengurungkan niat dan berbalik (ini tandanya aku benar2 trauma yaa X_X), namun tidak jadi karena terdengar ada yang memanggil,"silahkan bu". RSnya terlihat sepi, makin membuatku bimbang. Namun, berbeda dengan di RS Umum saat aku bilang ke resepsionis masalah anakku, susterpun langsung berkata, "oohhh iya, ya... sering sekali yaa anak2 itu, bisa lihat bentuknya?" mendengar kata2 itu, hatiku rasanya adeeeeeeemmmm banget seolah-olah beban ini jadi ringan bagai kapas hanya dengan memikirkan ternyata hal itu adalah hal biasa dan banyak yang mengalami hal yang sama. "Ibu beruntung, ibu tahu barangnya dan abang bilang ke ibu, ada loohh yang baru ketahuan setelah seminggu". Aku jadi tenang dan mulai positif. Abang langsung dapat giliran pertama ditangani oleh Dr Susan. Sambil bersiap-siap, beliau berkata cara memegang abang dengan benar untuk berjaga jika berontak ke misuaku, dan menjelaskan tentang jaringan di hidung yang sensitif dan tidak masalah apabila darah mengucur (di mana hal ini sama sekali tidak kudapatkan infonya di RS Umum). Selain itu, melihat lengkapnya peralatan di sana (RS THT), aku makin positif. Namun ternyata akhirnya abang ditangani oleh Prof. Helmi (sang kakeknya teman keponakanku), sambil berbisik Dr Susan berkata "Dengan Prof aja ya bu..". Alhamdulillah, meskipun sempat abang berteriak2, kurang lebih 10menit, manik2 itu keluar.
Begini kira2 yang terjadi di sana,
Dr Susan : siap pak? posisinya yang tegap ya..
Suami : oke
Dr Susan : ibu, bisa bantu tadah tangan, biar kalau keluar manik2nya gak loncat ke mulut abang
aku : oke dokter
Prof Helmi : kita liat yaa.. sambil mencoba melihat si manik2 untuk mengetahui posisi
abang : oom, sakit mata abang, kena lampu oom, matiin oom..
Prof Helmi : ooo, iya iya dimatikan yaa... sambil ngambil semacam jarum yang panjang banget untuk di masukkan ke hidung
aku : menarik nafas dalam2
abang : apaaaa itu ooom? tajam itu oommm... jangan om, jangaaaaannn..
aku : terus memperhatikan sambil tahan nafas
Prof Helmi : sebentar yaa.. lalu croott, benda panjang itu menyemprot...
aku : tuh bang, gpp... cuma disemprot kok bukan ditusuk
Prof Helmi : kita tunggu sebentar yaa..
beberapa saat kemudian, mulai mengambil pinset panjang dan semacam pembuka hidung
aku : menadah tangan sambil hati kebat kebit
Prof Helmi : yuuk diambil, sambil mencoba sekali dan terlepas
aku : terduduk lemas
abang : terus berteriak sakiit
aku : melihat gumpalan kecil dr dlm hidung, "alhamdulillaaahhh" teriakku
Dr Susan : sudah keluar
Prof Helmi : di mana ya?
Dr Susan : itu dokter di pinggir hidung
Prof Helmi : menekan batang hidung abang ke arah bawah, "ooohh iya, gak kelihatan"
klutuk2 manik2 meloncat keluar
suami : itu yaaaa? tanyanya ke arahku
aku : iyaa
suami : alhamdulillah berwajaah legaaaa
Langkahku pulang ringan sekali, bersyukur banget. Terimakasih yaa Allah, terimakasih dokter.
Rekomendasi untuk semua yang bermasalah dengan THT, silahkan datang ke RSS Medika Salemba ini yaa....
No comments:
Post a Comment